Home
- . File Baru -> Korektor Kita Versi Massal , Absensi Guru Digital , Absensi Siswa , Buku Induk V2 , Program Konter Pulsa (Untuk Agen Pulsa) , Link Penting -> Daftar dan Dapatkan Penghasilan , Pasang Iklan Link Di Sini
Pengumuman!!!
Untuk sementara admin tidak melayani jasa pembuatan file / program dalam bentuk EXCEL (pada hari-hari sekolah). Karena admin sedang berkonsentrasi menuju UN 2014. Terimakasih atas perhatiannya!
Pengumuman!!!
Untuk sementara admin tidak melayani jasa pembuatan file / program dalam bentuk EXCEL (pada hari-hari sekolah). Karena admin sedang berkonsentrasi menuju UN 2014. Terimakasih atas perhatiannya!
Tangisan Hati Borneo
Oleh : Roesita Widya H (SMAN 1 Pati X-9)
Pagi
ini udara terasa sangat sejuk. Mentari mengintip dibalik rerimbunan pohon-pohon
rindang. Masih malu menampakkan sinar emasnya yang berkilau indah. Ku lakukan
gerakan ringan untuk menghilangkan lelah setelah melakukan perjalanan jauh dari
Jawa Tengah menuju Kalimantan Tengah yang membutuhkan waktu dua hari satu
malam. Angin pagi menunjukkan kebolehannya menari. Sejak pertama aku menghembuskan
nafas ditempat baruku, aku merasakan sesuatu entah apa itu. Sepertinya jiwaku
telah lama berada ditempat ini.
Segera
aku berlari menuju kolong rumah adat panggung atau lebih tepatnya rumah Betang
yang aku dan keluargaku sekarang tempati. Aku melihat adikku satu-satunya
sedang asyik mencari undur-undur bersama teman barunya di bawah kolong rumah. Betapa
cepat adikku mempunyai teman. Sepertinya adikku mulai terbiasa dengan keadaan
sekarang yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan.
Bergegas
aku mengambil sebuah timba dan berlari menyusul ibu menyusuri jalan setapak.
Sepanjang perjalanan aku melihat sesuatu yang belum pernah aku lihat sebelumya,
apa aku sedang berada di negeri dongeng ? Aku melihat burung warna – warni
menari dan bernyanyi bersahutan seperti
alunan simfoni alam yang begitu merdu terdengar.Aku juga melihat rusa kecil
yang bersembunyi di balik gerombolan rumput liar. Pohon-pohon hijau aku lalui
disepanjang kanan dan kiri jalan. Suara monyet dan orang utan menggema hingga
merasuk kedalam telingaku dan berlabuh dalam kalbuku. Aku terlalu menikmati
suasana.
Aku segera menyusul ibu yang mulai jauh
meninggalkanku.Tak berapa lama, aku melihat air sungai yang sangat jernih.
Terlihat ikan elok berkejar-kejaran. Sungai ini ternyata lumayan jauh dari
belakang rumahku. Ku ambil timba yang ku bawa dari rumah dan mengisinya dengan
air jernih yang begitu dingin. Dari semua tempat, sepertinya sungai ini berbeda
dari sungai yang lain, karena airnya
tidak berwarna hitam.
“Cepat
jikuk banyune gowo neng omah. Mulai saiki mbak Sita ados ning kali iki.Ibu
ngerti iki beda karo ndisik, ibu pengen kuwe ngerti”, ibu mencoba memberi
pengertian kepadaku, seorang anak kelas 1 SD. Aku hanya mengangguk dengan wajah
menunduk. Mataku sempat melirik kearah rimbunan bunga anggrek warna-warni
dipinggir sungai. Makhluk bersayap indah hinggap diantara bunga-bunga itu.
“Assalamualaikum
bu, aku berangkat sekolah ”, setelah mengucapkan salam aku bergegas mempercepat
langkahku kesekolah. Jalan ditempat ini berbeda dengan tempatku dulu. Aku tidak
melihat lantai keras berwarna hitam yang menyelimuti jalan. Yang ada hanya
tanah berdebu. Jalannya pun tak semulus dan selurus ditempatku dulu, jalannya
berkelok dan naik turun. Aku heran karena aku tidak menjumpai banyak rumah
disini. Yang ada hanya hamparan ilalang, perkebunan lada dan perkebunan kelapa
sawit. Namun aku tetap melangkahkan kakiku dengan gembira karena setidaknya aku
tidak lagi mendengar suara bising makhluk bensin. Sekolahku sangat luas. Disisi
kanan terdapat rumah dinas bapak ibu guru yang berjejer rapi terbuat dari kayu
dan berbentuk rumah adat. Karena luasnya, serasa aku mengitari lapangan sepak
bola tempatku dulu sebanyak lima kali. Terlalu banyak keheranan yang aku temui.
Keheranan yang mampu membuatku terpana.
Di
sekolah baruku, aku belum berani mengucapkan kalimat ke teman-teman. Hanya
kalimat perkenalan yang aku ucapkan. Aku mencari-cari teman yang kiranya sama
denganku. Sepertinya hampir semua murid disini warga kampung semua.Warga Kampung adalah penduduk asli suku dayak Ngaju.
Saat
istirahat, aku melihat satu anak yang asyik bermain lompat tali bersama teman -temanya.
Rambutnya dikepang dua dan dia terlihat sangat manis. Aku mencoba berbicara
dengannya, tapi dia dan teman-temannya justru menertawakanku. Aku memang tidak
terlalu bisa berbahasa indonesia, jadi aku berbicara dengan bahasa jawa. Aku
baru tahu kalau teman-teman tidak faham dengan bahasaku. Tahun pertama aku
habiskan bermain bersama teman-teman dan belajar bahasa indonesia lebih banyak.
Aku juga sedikit demi sedikit mulai belajar bahasa dayak Ngaju karena muatan
lokal dalam mata pelajaran disekolahku tidak mengajarkan pelajaran basa jawa.
Pelajaran muatan lokal tidak seperti di sekolahku dulu yang mengajarkan basa
Jawa.
Tak
terasa sudah dua tahun aku sekolah di tempat ini. Semakin hari, aku semakin
menyukai tempat ini. Pak guru sangat baik dan suka membacakan cerita fabel
untuk ku dan teman –teman. Aku juga sudah mulai lancar berbahasa indonesia.
Ayah menghabiskan waktunya untuk mengurusi perkebunan lada, sedangkan Ibu sibuk
di rumah mengurusi keluarga, terutama mengurus
Gilang yang mulai memasuki bangku kelas satu SD. Menurutku dia sangat manja,
mungkin karena dia anak laki-laki satu-satunya kesayangan ibu, sedangkan aku,
anak perempuan kesayangan ayah. Hari ini aku berencana pergi ke hutan bersama
beberapa teman laki-lakiku. Aku tidak berani bilang ke ayah karena aku yakin
ayah pasti akan marah kepadaku. Kami berangkat pagi-pagi benar. Aku dibonceng
temanku yang paling besar. Mata kami disuguhi pemandangan indah pohon kelapa
sawit yang berbaris rapi. Tidak mudah memang medan yang kami lalui. Jalannya
bagai jurang yang tak bertepi. Setelah matahari tepat berada di atas ubun-ubun
kepala, kami sampai juga disebuah tempat tujuan. Setelah kami parkir sepeda
ditempat aman, kami berjalan masuk ke sebuah tempat yang penuh keajaiban.
“Waw, apa aku berada disurga. Ini benar-benar
surga”, tak sadar kata itu terucap dari mulutku.
“Ngak
Sita, kita ni dihutan ndak disurga, kamu tak pernah ke hutan ya, kalau aku
sering kesini bantu abangku ambil kayu bakar” , celoteh Dani yang tak terlalu ku
dengar, karena aku terlalu kagum dengan tempat ini.
Aku
melihat pohon-pohon tinggi menjulang bagai menara . Sinar mentari tak sanggup
menembus lebatnya hijau dedaunan. Orang utan bergelantungan dengan meneriakkan
suara khas mereka. Kilauan sinar mencoba menyelinap masuk, berharap dapat
memamerkan sinar nya yang menyilaukan mata. Serangga pun tak mau kalah dengan
menunjukkan kehebohan paduan suara yang saling beriringan.
Aku
juga melihat sebuah danau yang kuyakini belum ada orang yang memancing disana.
Aku mengambil mata kail dan senar yang aku bawa dari rumah. Dua puluh ekor ikan
sebesar lengan tangan orang dewasa aku dapatkan.
“Hari
ini kita pesta ikan teman-teman”, aku berteriak dengan wajah senang tak
tergambarkan.
“Udah
lah, kau aja yang makan, kita ni udah muak dengan ikan”, jawab Romi dengan
santainya.
“Besok
kita kesini lagi ya? Aku ingin bisa ketempat ini setiap hari”, pintaku pada
teman-teman.
“Ya berdoa saja. Dulu belakang rumah kami
adalah hutan, sekarang telah berganti menjadi perkebunan kelapa sawit. Aku tak
yakin hutan ini akan lolos dari penggalan gergaji besi para pendatang. Aku
berharap keluargamu tak merusak hutan. Ayo pulang sebelum fajar hilang”,
perkataan Yosi yang membekas dihati.
Sekarang
aku sudah duduk di bangku kelas 3 SD. Betapa menyenangkannya tinggal disini
hingga aku begitu hanyut dalam suasana keharmonisan dan kedamaian lukisan tuhan.
“Selamat
pagi pak guru.....”
“Selamat
pagi anak-anak, hari ini adalah pelajaran bahasa indonesia. Bapak akan
bercerita, tapi yang menentukan ceritanya adalah kalian. Diantara murid bapak
yang berani, siapa yang ingin memberikan usul ?”, bapak guru pahlawan kami berbicara.
Beliau adalah anak kepala suku desa ini sebelum desa ini menjadi desa
transmigrasi.
“Saya
ingin bapak bercerita tentang masa kecil bapak, sebelum hutan ditempat ini
dijadikan perkebunan”, aku memberanikan diri bertanya.
“O..Sita,
baiklah bapak akan bercerita. Dulu bapak main dihutan setiap hari karena tak
ada tempat bermain selain dihutan. Bapak hanya perlu berjalan lima menit dari
rumah untuk sampai kehutan. Hutannya masih banyak karena dalam adat ada
peraturan dilarang menebang pohon besar. Kalaupun ingin menebang pohon besar,
harus dilakukan ritual yang begitu rumit. Di hutan bapak biasanya membuat
jebakan untuk menangkap burung. Yang menarik, dulu bapak membantu apak
mengambil kantong semar besar untuk menanak nasi”, cerita pak guru.
“Menanak
nasi dengan kantong semar ? bukannya kantong semar itu kecil ya pak ? kok bisa
?”, keingintahuanku mendorongku bertanya lagi.
“Zaman
dulu, ada kantong semar sebesar panci menanak nasi. Nasi terasa sangat lezat
jika dimasak didalam kantong semar. Gini, dalam tradisi jawa mengukus nasi
dengan tanah liat dan corong anyaman bambu, kalau zaman bapak dulu menanak nasi
dengan periuk tanah liat dan kantong semar”, pak guru berusaha menjawab
pertanyaanku.
Jangkrik
mulai mengerik. Suaranya memecah kesunyian malam. Ayahku berusaha menyalakan
lampu petromak untuk diletakkan di ruang tamu, sedangkan ibu menyalakan lampu “uplik”
untuk menerangi ruang kamar tidur. Setelah mencentelkan uplik pada sebuah paku
didinding, ibu segera masuk kedalam kelambu menemaniku dan dek Gilang tidur.
“Bu, ceritakan tentang tujuh bidadari dan jaka
tarub”, rengekku pada ibu. Memang setiap malam ibu rutin menceritakan dongeng
sebelum aku tidur. Dengan suara merdunya dan pelukan hangatnya mampu membuatku
tertidur pulas.
Siang ini Ibu membelikan baju baru untukku.
Belinya tidak di toko baju, melainkan di Dorongan. Dorongan adalah toko baju
berjalan. Tokonya didorong seperti grobak. Bajunya bagus-bagus tidak kalah
dengan baju ditoko yang ada di kota. Sebenarnya di desaku belum ada toko baju.
Biasanya yang jualan baju Dorongan adalah orang Bugis. Seluruh suku yang ada di
Indonesia hampir sebagian ada di Desaku. Aku sering menyebut desaku dengan
sebutan desa Nusantara, karena didiami bermacam-macam suku dan agama.
Aku
bercermin sambil mengamati perubahan dalam diriku terutama tinggi badanku.
Tinggi badanku semakin bertambah. Kusadari kalau sekarang tak terasa waktu
terlewatkan, aku sudah naik kelas empat SD. Hari-hari yang kulalui semakin
penuh petualangan.
“Mbak Ayah datang”, teriak dik Gilang.
Terdengar
suara motor shogun kuno yang memekakkan telinga. Segera aku meninggalkan Rizal
temanku bermain kelereng, dan bergegas pergi
menuju kolong rumah. Ku buka toples yang penuh kelereng dan segera kumasukkan
kelereng dari tangan mungil ku kedalam toples. Aku tidak ingin emosi ayah
muncul ketika melihat anak perempuan satu-satunya bermain permainan anak
laki-laki.
Rencana
hari ini adalah mencari bambu dibelakang rumah besama dek Gilang. Kami akan
membuat layang-layang terhebat didunia yang mampu terbang menembuas awan. Aku
memotong bambu menjadi potongan kecil tapi panjang dan dek gilang bertugas
menyipakan plastik bekas dan mengguntingnya sesuai rangka layang – layang.
Setelah dua puluh menit, akhirnya jadi layang-layang kami. Layang-layang kami
terbangkan di lapangan pinggir jalan. Pemandangan kali ini berbeda dengan tahun
lalu, terlihat lebih banyak rumah berjejer, kendaraan besi pun lebih banyak
berlalu lalang. Angin membawa terbang layang-layang kami. Aku melihat mobil
loging membawa kayu besar atau tepatnya sangat besar, berjejer di pinggir
jalan. Mungkin sopirnya sedang beristirahat,
fikirku. Aku heran kenapa mobil loging, sebutan untuk mobil yang menbawa
batang pohon besar dari hutan, dari tahun ke tahun semakin banyak. Aku jatuh tertabrak
adikku yang asyik mengatur layangan hingga tak melihat ada aku dibelakangnya.
Gerimis
baru saja menjatuhkan tetesan air ke bumi. Aku melihat pelangi yang sangat
indah dilangit biru muda. Aku berlari berusaha mencari ujung pelangi yang aku
kira diujungnya ada para bidadari sedang mandi. Tapi aku tidak beniat seperti
jaka tarub lho, mencuri selendang bidadari. Aku hanya penasaran apakah bidadari
benar-benar ada. Ternyata ujung pelangi jauh sekali, aku tak kuat berlari lebih
jauh lagi.
Saat
dalam perjalanan pulang ke rumah, aku melihat Robi termenung di bawah pohon
petai. Aku melihat dia memegang bunga petai berwarna kuning. Biasanya kami
menggunakan bunga petai untuk bermain. Disampingnya terdapat bunga menjuntai. Bunga
pink indah itu ternyata dari pohon Residi. Bunganya indah sekali seperti bunga
sakura.
Aku
merasakan aura sedih dari raut wajah Robi. Sehari yang lalu rusa kecil Robi
hilang dicuri orang. Sepertinya yang mecuri warga pedatang. Karena
sebelumnya,aku dan Robi menemukan sisa Rusa panggang di belakang salah satu
rumah warga pendatang baru di desa kami. Walau aku juga sangat sedih, tapi aku
berusaha menghiburnya sebisaku.
“Sudahlah
jangan bersedih, gimana kalau kita cari rusa lagi?”, ucapku mencoba menghibur
sahabat kecilku anak suku dayak Ngaju.
“Mau
cari rusa kemana, semuanya sudah punah. Kenapa bapak adat tak mengusir kalian ?
Apa kalian tidak kasihan melihat Rusa diburu dan dibunuh ?”, robi mengungkapkan
isi hatinya.
“Kamu
jangan gitu, aku kan ngak menyakiti rusa”, belaku
“Gimana
kalau kita cari di hutan yang dulu kita datangi waktu kelas dua SD?”, tawarku
pada Robi
“Baiklah,”
Setelah
setengah hari perjalanan aku tidak melihat hutan yang dulu. Yang ada hanyalah
pohon kelapa sawit yang baru saja ditanam.
“Benarkan
kataku, kalian semua memang jahat “, Robi berteriak melampiaskan amarahnya.
“Robi...Robi..Tunggu...”,
aku berusaha menyusul Robi.
Memasuki
kelas 5, menandakan aku telah mulai beranjak remaja. Aku mulai mengerti apa
arti sebuah harapan. Harapan yang kini tinggal harapan ketika alam yang
menopang kehidupan telah hilang dari pandangan. Kristal pasir telah berubah menjadi
serpihan debu. Tak mungkin bisa dikembalikan seperti sedia kala. Itulah ibarat
untuk keadaan alam tempat tinggalku sekarang.
Aku
sama sekali tidak melihat lagi mobil loging karena larangan pemerintah. Namun
keadaannya mungkin lebih parah dari ilegal loging. Dadaku sesak, ini tak
sebanding dengan sesaknya hatiku. Ingin rasanya aku menangis, tetapi siapa yang
akan peduli. Segera aku pasang sepatuku, dan bergegas kesekolah. Tak lupa aku
memakai masker sederhana buatan ibu.
Kabut
asap menghalangi pandanganku hingga tak terlihat apapun pada jarak sepuluh
meter didepanku. Di sekolah aku melihat banyak pesawatt TNI terbang melewati atas
atap sekolahku. Kata pak guru, didalam pesawat itu ada Garam untuk memadamkan
Api.
Kecelakaan
kendaraan semakin marak. Teman kami meninggal ditabrak sepeda motor saat pergi
mengaji, karena kabut asap yang menghalagi pandangan pengendara. Kami berduka,
putra Borneo berduka. Rumah-rumah panggung Betang, berganti rumah tembok yang
berjejer di sepanjang jalan. Walau listrik belum ada dan jalan masih sama seperti
dulu, berdebu saat musim kemarau, berlumpur saat musim penghujan, namun diesel sudah masuk desa.
Tak
ada hutan yang tersisa. Yang ada hanyalah arang – arang pohon surga yang
dimakan iblis-iblis merah menyala buatan manusia. Tak ku lihat sahabat hutan yang
setia mengeluarkan suara khasnya. Yang ada hanyalah bangkai- bangkai primata
dan mamalia penghuni hutan.
“Sita,
tutup pintu dan cepat tidur. Malam-malam begini banyak beruang berkeliaran “,
ibu mengomando kami
“Dulu
ngak ada beruang berkeliaran, kenapa sekarang ada. Kenapa manusia jahat bu,
mereka kan ngak mempunyai kesalahan pada manusia?”, aku ingin mengucapkan lebih
banyak kata yang ingin ku tahu jawabannya.
“Sudahlah,
cepat tidur”, ibu sepertinya tak mau tahu dan tak mau memberi tahu jawaban dari
pertanyaanku
Aku
berdiri sambil memandang langit hitam yang dipenuhi ribuan bintang. Aku tak
ingin mendengar tangisan Borneo lebih keras. Walau aku hanya pendatang, tapi
aku tetaplah seorang manusia yang mempunyai rasa iba terhadap tanah Borneo
tempatku bernafas dan menjalani hari-hari yang mampu melukiskan senyum di
hatiku.
Aku
semakin tak mengerti. Walau sekarang aku sudah kelas enam. Keindahan alam
kalimantan kini tinggal kenangan, yang tak akan pernah terhapus zaman terutama didalam
ingatanku. Semua telah terlukis indah dalam kisah ku sejak kecil.
Cerobong
pabrik mengeluarkan aroma tidak sedap. Ya, pabrik pengolahan minyak goreng
berdiri kokoh didesaku. Limbahnya menyebar tanpa kenal ampun .
Oh
tuhan....dimana surga alam mu yang kau ciptakan dulu ? Mengapa semua jadi
seperti ini. Akankah ini akan kembali seperti semula. Dan kenapa disaat seperti
ini aku harus pergi kembali ke tanah jawa. Aku harus meninggalkan teman-teman
dan juga salah satu tempat kebanggaan ibu pertiwi yang telah berganti. Aku
masih ingin menikmati mentari pagi ditemani pisang goreng buatan ibu. Aku masih
ingin berlari dan menari di hutan bersama kawan. Aku masih ingin mendapat ikan
yang besar di rawa. Aku masih ingin melihat kijang dan rusa melompat senang di
tanah lapang. Mendengar burung beo berkicau. Mengagumi orang utan yang melompat
kesana kemari. Bernafas diudara jernih belum terkena polusi. Memandangi pelangi
bagai lukisan para peri. Melihat dan merasakan senyuman ibu pertiwi.
Kenyataanya sekarang, aku tidak
melihat senyum Robi lagi walau untuk yang terakhir kali. Yang aku rasakan
sekarang adalah kepedihan tangisan dan linangan air mata borneo yang menyayat
hati, entah kapan akan hilang. Ibu
pertiwi pun tak kalah sedihnya. Dalam hati aku berjanji, aku akan kembali.
Membawa seribu mimpi untuk menghidupkan kembali pelangi di hati putra-putri
Borneo sejati. Tak lupa, kan kutumbuhkan berjuta – juta benih pohon yang
nantinya akan memenuhi berjuta-juta harapan
Nama :
Roesita Widya Hapsari
Kelas : X-9
No. : 24
Anda sedang membaca artikel tentang Tangisan Hati Borneo dan anda bisa menemukan artikel ini dengan url http://my-axes-educate.blogspot.com/2012/06/tangisan-hati-borneo.html . Anda boleh menyebarluaskan atau mengcopy artikel Tangisan Hati Borneo jika memang bermanfaat bagi anda atau teman-teman anda, namun jangan lupa untuk mencantumkan link sumbernya. Terimakasih.
Posting Komentar
Peraturan :
Karena beberapa kali terjadi penulisan komentar yang tidak sesuai dengan peraturan, maka banyak komentar yang admin hapus. Dan admin mengubah settingan komentar.
1. Silakan tulis komentar dengan bahasa yang sopan dan berkaitan dengan artikel.
2. NO SARA, NO PORNO, NO KEKERASAN.
3. Dilarang menulis komentar yg sama pada setiap posting.
4. Akun anonim sudah dinonaktifkan.
5. Jika menggunakan Name dan URL, harus URL yang valid. (tidak berlaku/dinonaktifkan)
> Jika ditemukan komentar yang melanggar ketentuan ini akan dihapus.
> Berlaku untuk komentar mulai 21 April 2013 dan seterusnya.